Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)
Saya baru saja selesai membaca sebuah buku dari penulis yang bernama Maribeth Erb tentang Manggarai. Judul buku itu ialah The Manggarains, A Guide in Traditional Life Style. Salah satu bagian yang menarik perhatian saya dalam buku itu adalah cerita yang ia beberkan tentang orang-orang (ata) Kilor itu.
Konon orang-orang Kilor itu adalah kaum imigran yang berasal atau dating dari luar Manggarai. Sedangkan tetangga kampung mereka yaitu kampung Ndoso (orang-orang Ndoso) adalah penduduk asli setempat (autochtons). (Tentu saja pernyataan ini segera menimbulkan sebuah pertanyaan historis-kritis, karena ata Ndoso itu sendiri juga mempunyai cerita sejarah turun temurun bahwa mereka pun adalah imigran yang berasal dari luar Manggarai).
Pada suatu saat orang-orang Kilor tidak mempunyai api, bahkan diberi kesan juga bahwa mereka tidak mengenal teknologi api. Oleh karena itu, mereka pun memakan makanan mereka dalam keadaan mentah saja. Maribeth Erb sudah memberi sebuah catatan kritis di sini, bahwa ada keanehan: kalau memang benar orang-orang Kilor itu adalah imigran yang datang dari luar, maka mereka pasti lebih maju dan pasti sudah mengenal api. Tetapi ternyata menurut cerita ini tidak demikian adanya. Maka harus dihadapi dengan sikap kritis.
Karena mereka (orang-orang Kilor) belum mengenal api, maka mereka pergi meminta api itu kepada orang-orang Ndoso yang mempunyai api dan sudah mengenal teknologi api. Orang Kilor pun datang meminta api itu kepada orang Ndoso. (Memang dulu, dalam masyarakat tradisional, api itu termasuk barang atau sesuatu yang diminta kepada tetangga, seperti halnya orang meminta garam, atau barang-barang konsumtif lainnya).
Tetapi orang-orang Ndoso takut bahwa api itu akan disalah-gunakan. Mungkin juga ada sedikit latar belakang pandangan mitis dan pandangan suci, bahwa api itu adalah barang suci yang tidak boleh dialih-pindahkan begitu saja. Mungkin ada pandangan bahwa api adalah barang suci, maka harus eksklusif, dan monopoli. (Siapa tahu itu adalah endapan dari pandangan kuno seperti yang terdapat di India bahwa api itu termasuk dewa, yaitu dewa api, dewa Agni). Tetapi tentang hal ini tidak dapat saya pastikan.
Namun demikian orang-orang Kilor tetap datang ke Ndoso, lalu mencoba berpura-pura berdiang di dekat api. Pada saat berdiang itulah mereka mencuri api dari orang-orang Ndoso. Caranya lucu dan sederhana saja: tali celana dari salah satu orang Kilor itu terbakar (atau sengaja dibakar, ditutung dengan api), lalu dengan nyala api pada tali celana itu mereka pulang ke Kilor. Dengan api itulah orang-orang Kilor kemudian dapat membuat api mereka sendiri.
Setelah orang-orang Ndoso tahu bahwa api mereka telah dicuri oleh orang Kilor, maka orang Ndoso pun menjadi marah dan mereka datang untuk menyerang ke Kilor. Konon pada saat itu terjadi perang yang seru dan sengit. Dikisahkan juga bahwa orang Kilor cukup kewalahan menghadapi orang Ndoso, karena orang Ndoso ini memakai baju perang yang terbuat dari ijuk. Tetapi kemudian dikisahkan juga bahwa orang-orang Kilor tidak kehilangan akal atau tidak kehabisan akal. Entah bagaimana caranya mereka tahu bahwa ijuk itu mudah terbakar. Maka mereka kemudian memakai api yang telah mereka curi itu untuk membakar baju perang orang-orang Nodoso. Memang wunut itu sangat mudah terbakar apalagi kalau dalam keadaan kering-kerontang. Jadi, boleh dikatakan bahwa ini yang namanya senjata makan tuan, baik itu senjata api, maupun senjata baju perang dari wunut tadi. Api yang tadi diambil dari Ndoso kini dipakai untuk membakar orang Ndoso. Demikian juga baju ijuk yang dimaksudkan sebagai pelindung tubuh, kini bisa membakar tubuh mereka sendiri juga. Maka orang Ndoso pun kalah dan melarikan diri (pulang ke kampung mereka di gunung sebelah Kilor).
Tetapi terhadap cerita ini serta merta muncul beberapa pertanyaan kritis: Perlu diingat dan disadari juga bahwa orang-orang Ndoso sendiri juga mempunyai cerita turun temurun sebagai imigran, perantau, pendatang dari luar Manggarai. Pertanyaan saya secara pribadi ialah, samakah orang Ndoso itu dengan orang Ndasa, leluhur kami? Saya belum dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Maka saya bertekad untuk meneliti tentang hal ini. Ya, saya harus cari tahu versi cerita ini dari orang-orang Ndoso atau Ndasa. Kalau orang Ndoso sama dengan orang Ndasa, mengapa mereka mengungsi dari Gunung? Memang kalau kita lihat dari jauh, di kampung Ndoso di gunung itu ada tanah longsor. Mungkin hal itulah yang menyebabkan mereka melarikan diri dan menetap di dataran rendah di Lembor, di daerah persawahan. Sekarang ini pun dari jauh kita masih bisa melihat sebuah langke besar di mukang beo di Ndasa itu. Kata orang-orang di Kampung, konon di sana masih ada compang. Maka suatu saat aku harus bisa sampai ke sana untuk merekam suasana Kampung asli dan purba di sana. Ya aku harus ke sana.
Bandung, 25 November 2008. (dikomputerisasi dan diperluas isinya).
Ditulis dalam BH-ku tanggal 21 November 2008
Saya baru tahu tenang penelusuran sejarah yang di tulis dalam buku Maribeth, yang berjudul The Manggarains. Beberapa versi asli muncul, bahwa Nama Ndoso itu di kisahkan dari seorang pemilik babi, dimana babinya itu terlepas (lempok)dari kandang. Kemuadian pemiliknya menelusi jejaknya (batu la'as). Sepanjang perjalannanya ia terus mengikuti jejak babi itu, sambil terus berkata : Ndo se'en. Dan pada suatu hari ketika jejak babinya tidak terlihat, maka dia membuat gubuk. Ndo se'en yang selalu di ucapkannya sepanjang perjalanan tadi menjadi awal Nama NDOSO (dari kata Ndo se'en.
BalasHapusMengingat bahasa ndoso di perbatasan kolang, Ndo'se'en (bahsa holeknya (no ce'en) memang berbeda dengan bahasa kolang atau bahasa Ndoso holek. Maka penerjemahan kata NDO'SE'EN itulah awal dari kata NDOSO.
Itu versi cerita yang saya dapat kraeng tua.
Asekae Ndoso ytksh...
BalasHapusNdoso memang ada di Kolang. Tetapi Ndoso yg disebut dalam buku di atas bukanlah Ndoso di Kolang, melainkan Ndoso di Lembor. Letaknya persis di dekat Tuwa, sebelum Besi (Beci), dekat Wae Mowol. Kampung Ndoso itu sendiri terletak tidak jauh dari jalan Raya Lembor-Ruteng. Judul tulisan saya ialah ATA NDOSO ATAU (KAH) ATA NDASA. Ndasa sendiri adalah kampung sangat tua yg terletak jauh di atas gunung. Kini hanya tinggal Mukang (ada Langke, konon ada compang, awa watu Leong tempat Leluhur Ndasa itu berjemur (dari Leso) sambil mengawasi kerbaunya. Sekarang kampung itu mulai dilirik lagi karena ada biara suster yg berminat tinggal di dekat gunung itu. Itu sebabnya banyak keturunan org Ndasa dicari utk meminta Ijin. Termasuk di antaranya ialah Bapa Saya. Bp.Uskup Edu sudah membuat misa di compang Ndasa itu bbrp thn silam, pdhal kampung itu sudah lama sekali ditinggalkan oleh org Ndasa. Pertanyaan saya kepada Maribeth Erb ialah, apakah org Ndoso yg ia tulis itu tidak keliru. Sebab dlm ingatan kami lebih tepat org Ndasa... tapi terima kasih atas info yg ase berikan di sini. saya akan sangat senang jika anda menyebut nama anda di sini... tabe ga...